Selasa, 27 Januari 2009

RUMAH TUA BENGKULU : quo vadis

RUMAH TUA BENGKULU : quo vadis
Oleh : Agus Setiyanto
Tahun 1988, bersama kawan-kawan kampus pernah bikin sinetron ala BKKBN. Salah satu lokasi syutingnya di sebuah rumah tua yang terletak di jalan Jenderal S.Parman pinggir jalan (pojokan simpang menuju Kebun Beler). Sayang rumah kenangan tersebut, kini telah berubah menjadi pertokoan. Demikian juga dengan rumah tua yang terletak di jalan Jendral Sudirman (tepatnya sebelah eks Gedung Bioskop Segara), yang kini sudah menjadi sederet pertokoan – rumah tua yang terletak di jalan MT.Haryono, yang sekarang sudah menjadi tempat bisnis. Dan tentunya, masih banyak lagi yang bernasib serupa, termasuk rumah-rumah jenis panggung (Rumah Panggung) yang sudah sangat langka di kota Bengkulu.
Hal ini memang tak terelakkan, karena arus modernitasnya zaman – akibat gempuran arsitektur modern yang berimbas pada nasib arsitektur indis. Padahal bentuk bangunan rumah tua – rumah panggung – rumah tradisional yang bercorak indis ini selain sebagai wujud dari sebuah kearifan lokal (local wisdom), ternyata juga memiliki daya tahan terhadap bencana alam, seperti banjir dan gempa. Misalnya, Rumah Gadang model Bagonjong di Sumatera Barat, yang tetap berdiri tegak dan selamat dari serbuan gempa hingga ratusan kali.
Dan yang tak kalah pentingnya, adalah sebagai sumber aset daya tarik wisata budaya. Hampir sebagian besar pemerintah daerah/kota cukup serius untuk mendukung – membackup pelestarian rumah tradisional – rumah panggung. Lampung misalnya, Pemda Lampung Barat bekerja sama dengan Balai Pelestarian dan Peninggalan Purbakala (BP3) telah membantu memugar dan memelihara rumah panggung gaya limas milik Asnawi (79 tahun). Di Bali sudah banyak gerakan pelestarian terhadap rumah-rumah panggung, terutama di didaerah Loloan. Ternyata di Loloan ini terdapat dua tipe- model rumah panggung, yaitu model Bugis, dan model Sumatera (Palembang dan Riau). Apalagi wilayah- daerah yang memiliki sumber daya budaya sebagai kota kuno – kota lama, seperti Kalimantan - Sulawesi - Riau – Sumatera Barat – Sumsel (Palembang dan sekitarnya) - DKI - Jawa Barat – Jawa Tengah (Solo – Semarang), DIY (Yogya), dan lain sebagainya. Bahkan di Yogya, Walikota Yogyakarta telah mengeluarkan SK (Surat Keputusan) nomor: 557/Kep/2007 Tentang Rencana Aksi Daerah untuk Pengembangan Pariwisata Berbasis Budaya kota Yogyakarta Tahun 2007-2011. Dan menariknya lagi, pemerintah kota Yogyakarta melalui Dinas Pariwisatanya dalam upaya pelestarian rumah-rumah kuno telah memberikan insentif kepada para pemiliknya.
Lalu bagaimana dengan Bengkulu ? masih adakah kearifan lokal – kesadaran bersama masyarakat dan pemerintah daerah setempat untuk melestarikan warisan nilai sejarah dan budaya daerah – khususnya rumah-rumah tua/kuno – rumah-rumah tradisional ? Bil khusus rumah-rumah panggung sebelum bahan dasar utamanya seperti kayu dibabat habis oleh system illegal loging.
Untuk sementara ini, kita masih bersyukurlah, ditengah derasnya arus gelombang arsitektur modern menghimpit arsitektur indis, ternyata masih ada juga yang mampu bertahan - dipertahankan oleh si pemiliknya. Tentunya dengan berbagai sebab dan alasan mengapa bangunan tua tersebut bisa bertahan. Ada sebagian yang dibiarkan begitu saja karena faktor ekonomi – biaya. Sebagian lagi ada yang dimanfaatkan untuk sarang burung Walet, karena faktor ekonomi juga – bisnis. Ada juga yang dimodifikasi dengan gaya arsitektur modern, baik untuk dipakai / dihuni sendiri maupun untuk kepentingan usaha- bisnis. Bisa jadi, dengan pertimbangan bangunan – rumah tua tersebut tidak memungkinkan lagi untuk dipertahankan sebagaimana adanya. Dan yang lebih menarik lagi, adanya kecenderungan dari sebagian kecil anggota masyarakat yang mampu membangun rumah bergaya panggung. - rumah panggung. Setidaknya, yang bisa kita amati adalah rumah panggung yang terletak di pinggir jalan Tebeng (dekat AMIK Dehasen), dan juga rumah panggung milik pengusaha muda PT.Sanindo Tourism Service yang terletak di dalam kota Bengkulu. Semoga saja, pembangunan rumah panggung tersebut tidak sekedar mengangkat - beautification - isu keindahan – serta mengejar nilai prestisenya – tetapi semata kesadaran akan sebuah nilai kearifan local – came back to indigenous cultural.
Ada baiknya – saran, agar Pemerintah Daerah /Kota Bengkulu tentunya bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyatnya, serta komponen lainnya (LSM) melakukan langkah kebijakan strategis untuk melindungi – melestarikan rumah-rumah kuno – tua – rumah panggung sebagai aset sejarah, budaya – dan wisata. Bukankah ini entitas dari identitas dan jatidiri kebudayaan masyarakat kita ! Tidak ada salahnya, jika pemerintah daerah setempat melalui dinas pariwisatanya dapat memberikan reward – insentif – atau kemudahan –kemudahan dalam bentuk lainnya bagi para pemilik rumah tua – rumah panggung agar terjaga kelestariannya. Tentunya, konsep pelestariannya tidak dalam konteks bangunannya an-sich, tetapi juga aspek lingkungan sosio-kulturalnya. SALAM !.

Rabu, 31 Desember 2008

hallo wong kudus salam kenal dari keluarga sedulur kudus di bengkulu
salam
agussetiyanto
kunjungi kami : agussetiyantoz@yahoo.com

wong kudus: allow2,, lagi bikin nih.. ^^

wong kudus: allow2,, lagi bikin nih.. ^^

Selasa, 23 Desember 2008

MELURUSKAN SEJARAH KOTA BENGKULU

MELURUSKAN SEJARAH KOTA BENGKULU
Agus Setiyanto
Jangan pernah bilang bahwa sejarah itu ilmu yang statis. Sebaliknya, sejarah bisa berubah seperti jargonnya minuman “coca-cola” (kapan saja, di mana, dan siapa saja). Kata kuncinya terletak pada dinamisasi status faktanya. Yang kemarin dianggap sebagai “ hard fact” (fakta keras – fakta yang tak terbantahkan), suatu saat bisa berubah jika ditemukannya historical-sources (bukti-bukti sejarah) yang lebih faktual sebagai fakta baru. Apalagi yang statusnya baru “cold fact” (fakta lunak – fakta yang masih bisa digoyang- dirubah).
Lalu, bagaimana dengan HUT Kota Bengkulu yang sudah ditetapkan pada setiap tanggal 17 Maret. Dalam perspektif kesejarahan, penetapan tanggal 17 Maret tersebut, ternyata tidak akurat – bahkan cenderung direkayasa. Konon kabarnya, karena pada saat itu, belum – tidak diketemukan sumber sejarah yang menyebutkan tanggal, lalu disepakati bersama untuk mengambil tanggal yang dianggap keramat, yaitu tanggal 17. Padahal ada bukti catatan arsip sejarah, yaitu dari “ Letters to Ft. St. George 14, Thomas Cook Negapatam, 28 June 1719, 67-68” (J. Kathirithamby – Wells, “The British West Sumatran Presidency (1760-85)”, Kuala Lumpur: Universiti Malaya, 1977: hlm.39-401977: 39-40) – yang juga disitir oleh Abdullah Siddik dalam bukunya “Sejarah Bengkulu 1500 –1900” Jakarta: Balai Pustaka, 1996, hlm.46-47.
Menurut sumber sejarah di atas, disebutkan bahwa, Jauh sebelum peristiwa penyerbuan rakyat Bengkulu ke Fort Marlborough pada tanggal 23 Maret 1719, ketegangan sosial telah terjadi antara para penguasa pribumi Bengkulu, khususnya rakyat Selebar. Ketegangan hubungan antara pihak Inggris dengan Pangeran Ingallo (Jenggalu?) – alias Pangeran Nata Diradja penguasa dari Selebar, berawal dari hubungan kontrak – perjanjian dagang. Pihak Inggris tidak senang bahkan merasa dirugikan karena Pangeran Selebar masih menjalin hubungan dagang dengan pihak Belanda. Disinyalir, rakyat Selebar serta anak keturunannya Pangeran Nata Diradja menaruh dendam atas kematian Pangeran Selebar yang diduga dibunuh oleh Inggris di Fort York pada tanggal 4 Nopember 1710.
Puncaknya ketegangannya, pada malam hari tanggal 23 Maret 1719, Fort Marlborough diserbu sekitar 80 orang yang sebagian besar diperkirakan dari suku Lembak dan Selebar – yang mengakibatkan orang-orang Inggris melarikan diri ke Batavia dan Madras. Tokoh yang diduga kuat sebagai pemimpin penyerbuan Fort Marlborough itu antara lain : Pangeran Mangkuradja dari Sungai Lemau, Pangeran Intan Ali dari Selebar, Pangeran Sungai Itam, dan juga Syed Ibrahim (Siddy Ibrahim ) yang disebutkan sebagai seorang ulama besar yang punya pengaruh pada.
Yang menjadi persoalan adalah : Benarkah kota Bengkulu itu baru lahir pada tahun 1719 ? Apakah sebelum tahun 1719 nama Bengkulu tidak pernah disebut-sebut atau dikenal orang ? Bagaimana dengan sebutan Bencoolen, dan Bangkahoeloenya ? Kalau pertanyaan itu terjawab secara akurat, maka hari jadi kota Bengkulu akan lebih tua lagi umurnya, dan lebih antik lagi. Paling tidak, sebelum tahun 1719, nama Bengkulu sudah disebut dan dikenal dalam sejarah. Misalnya, orang-orang Inggris yang datang ke Bengkulu sejak tahun 1685 sudah menyebutnya dengan nama Bencoolen (P. Wink: 1924). Bahkan jauh sebelumnya lagi, bukankah sudah ada hubungan antara Bengkulu dengan Banten ? Demikian juga masyarakat pribumi Bengkulu itu sendiri … SEKIAN !

TABOT WISATA

TABOT WISATA
(Agus Setiyanto)

Berbicara tentang tourist art (seni wisata), khususnya di Indonesia, Bali dan Yogya merupakan contoh yang paling menarik, karena sudah kondang sebagai gateway (pintu gerbang) nya arus wisatawan baik domestik maupun manca. Yogya punya maskot seni sendratari Ramayana Prambanan, dan Bali punya maskot Tari Cak (Kecak) dan Tari Barong. Ketiga maskot tersebut, semula adalah seni pertunjukan tradisional yang sifatnya total ritual. Tetapi, dalam perkembangannya, untuk menarik wisatawan, kemudian dikemas menjadi paket seni wisata (tourist art). Umumnya, alasan utama yang dipakai untuk membuat packaged (kemasan) seni wisata tersebut, dikaitkan dengan kebutuhan selera wisatawannya. Biasanya, kunjungan wisatawan ke suatu tempat wisata, ingin menikmati sebanyak-banyaknya sesuatu yang unik, menarik dalam waktu yang relatif singkat, dan murah (Kayam, 1981:179). Oleh sebab itu, diperlukan sebuah kemasan seni wisata yang mini, singkat, padat, dan penuh variatif. Bahkan Wayang Kulit di Jawa (Yogya) yang seharusnya dipentaskan semalam suntuk, kemudian dikemas secara padat menjadi dua jam, bahkan di Jawa Barat, wayang golek mampu disajikan dalam durasi 15 menit. Demikian juga dengan tari Cak dan tari Barong di Bali yang semula hanya dipertunjukkan pada waktu-waktu tertentu, kini bisa dinikmati setiap hari oleh wisatawan. Dan bentuk penyajian seninya tidak harus berupa karya cita baru, melainkan hasil reproduksi yang sudah ada (Soedarsono, 1986:5). Dengan disiapkannya paket seni wisata tersebut, maka wisatawan dapat menikmati kapan saja, tanpa harus kehilangan waktu untuk menunggu terlalu lama.
Nah, bagaimana dengan budaya Tabot Bengkulu ? Sudah siapkah seni pertunjukan Tabot Bengkulu dikemas menjadi Tabot tourist art ? Barangkali sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mungkin harus dijawab dulu pertanyaan yang satu ini, yaitu: sudah seberapa deras arus wisatawan yang masuk ke Bengkulu hingga sekarang ini ? Kalau memang Bengkulu sudah masuk dalam kategorisasi sebagai gateway-nya arus wisatawan, maka kebijakan untuk mengemas tourist art perlu segera dipertimbangkan. Sebab, tourist art ini merupakan alternatif yang tepat untuk memenuhi kebutuhan selera wisatawan.
Di samping itu, juga sangat diperlukan adanya kerjasama yang kompak di antara pihak-pihak yang terkait secara langsung dengan wisatawan, seperti pihak Dinas Pariwisata, pihak biro travel (ASITA), dan Hotel (PHRI), serta para senimannya. Dengan kata lain, harus ada sharing (pembagian keuntungan) yang didapat dari pihak wisatawan, seperti pihak biro travelnya yang memperleh keuntungan secara langsung melalui usahanya di bidang transportasi.
Pihak Dinas Pariwisata pun harus membina kerjasama dengan para seniman maupun budayawan dalam rangka memberdayakan obyek-obyek wisata yang dipasarkan agar mampu meningkatkan daya tarik bagi wisatawan.
Sebab, pariwisata itu merupakan sebuah industri, sedangkan produknya adalah seni budaya. Satu hal yang perlu dicermati adalah mengenai kebutuhan selera wisatawan yang relatif banyak. Kebutuhan menikmati pemandangan alam yang indah, melihat Museum, melihat bekas-bekas peninggalan sejarah, ingin bersantai dan berjemur di pantai yang nyaman, ingin menikmati seni pertunjukan rakyat, ingin membeli souvenir yang khas di art show (warung seni), ingin mendapatkan buku-buku literatur tentang cerita, sejarah dan budaya daerah setempat, menikmati makanan khas (wisata kuliner), dan lain-lain. Semuanya itu butuh perhatian dan penggarapan yang serius, agar wisatawan yang sudah berkunjung merasa puas dan memiliki kenangan yang mendalam.
Dan kenangan yang telah menjadi bagian dari slogan Bengkulu sebagai kota Semarak – kota Wisata itu, tidak sekedar terucap di bibir atau tercetak di kertas saja, tetapi benar-benar terpendam di lubuk hati khususnya para wisatawan..…SEKIAN!